Lebih dari seratus keluarga Badui di provinsi Suwayda utara, Suriah, bersiap untuk kembali ke desa mereka, Qasr. Kepulangan ini menjadi babak baru setelah bertahun-tahun hidup dalam pengungsian akibat tekanan rezim Bashar Al Assad maupun konflik bersenjata pembersihan etnis yang dilakukan milisi Druze Al Hajri pro Israel yang berkecamuk di kawasan tersebut.
Sebagian keluarga yang kini berkemas pulang pernah dipaksa meninggalkan tanah mereka oleh kebijakan rezim yang diskriminatif ke Arab Badui tapi mengistimewakan Syiah Alawiyah, Druze dan Kristen meski sama-sama Arab.
Sementara yang lain terpaksa mengungsi pada Juli lalu ketika bentrokan di sekitar wilayah Suwayda meningkat dan membuat desa mereka tidak aman.
Qasr sendiri merupakan bagian dari situs bersejarah Shaqqa, sebuah kawasan dengan nilai arkeologis tinggi di distrik Suwayda. Shaqqa dikenal menyimpan peninggalan dari masa Romawi hingga Bizantium, menjadikannya titik penting dalam mozaik sejarah Suriah.
Bagi keluarga Badui, kepulangan ke Qasr bukan sekadar kembali ke rumah, tetapi juga kembali ke identitas. Mereka memiliki hubungan erat dengan tanah yang diwariskan turun-temurun, di mana kehidupan penggembalaan dan tradisi nomaden telah melekat selama berabad-abad.
Arab Badui merupakan pihak yang ikut membebaskan Suriah era Ottoman. Tapi kemenangan itu dimanfaatkan Inggris dan Perancis untuk mendirikan negara Kristen (Lebanon), Yahudi (Israel di Palestina) dan Suriah di tangan orang Borjuis yang tidak ikut berjuang.
Stigma Arab Badui semakin melekat karena Perancis dan Inggris semakin memarginalkan mereka dari politik dan akhirnya terpaksa kembali hidup sebagai pengembala. Presiden Ahmed Al Sharaa yang melengserkan Assad dari Alawiyah merupakan Badui Annazeh.
Suwayda, yang mayoritas dihuni komunitas Druze, belakangan menjadi pusat perhatian karena meningkatnya aura separatisme sebagian Druze untuk mendirikan negara terpisah.
Namun, di tengah ketegangan itu, kepulangan keluarga Badui menjadi simbol bahwa rekonsiliasi dan pemulihan masih mungkin terjadi.
Sumber lokal menyebutkan bahwa keluarga yang kembali mendapat jaminan keamanan sementara dari otoritas setempat. Mereka berencana membangun kembali rumah-rumah yang hancur atau terbengkalai setelah lama ditinggalkan.
Meski demikian, proses ini tidak lepas dari tantangan. Banyak rumah telah rusak berat, lahan pertanian terbengkalai, dan akses terhadap air maupun listrik masih minim. Kondisi ini membuat kepulangan mereka lebih mirip sebuah perjuangan baru dibanding sekadar pemindahan.
Selain faktor fisik, ada pula tantangan sosial. Komunitas Badui kerap menghadapi stigma dari kelompok lain, terutama terkait gaya hidup mereka yang berbeda. Rekonsiliasi sosial menjadi bagian penting agar kepulangan ini tidak berakhir dengan ketegangan baru.
Dalam perspektif yang lebih luas, kembalinya keluarga Badui ke Qasr mencerminkan dinamika pascaperang Suriah. Banyak warga yang sebelumnya tercerabut dari akar mereka kini berusaha pulang, meskipun keamanan belum sepenuhnya stabil.
Organisasi kemanusiaan regional ikut memantau perkembangan ini. Mereka menilai kepulangan seratus keluarga tersebut bisa menjadi contoh bagi proses repatriasi warga di wilayah lain yang masih terjebak dalam ketidakpastian.
Wilayah Shaqqa sendiri punya arti strategis. Selain nilai sejarahnya, daerah ini menjadi jalur penting penghubung pedalaman Suwayda dengan kawasan sekitarnya. Stabilitas di sana bisa memberikan dampak positif bagi pergerakan ekonomi lokal.
Beberapa keluarga mengaku terharu dapat kembali menapakkan kaki di tanah leluhur mereka. Bagi generasi muda yang lahir di pengungsian, momen ini adalah perkenalan pertama dengan desa asal orang tua mereka.
Meski perasaan haru mewarnai kepulangan, ancaman keamanan tetap membayangi. Sisa-sisa konflik bersenjata, termasuk ranjau dan material peledak yang belum dibersihkan, masih menjadi risiko nyata di sekitar desa.
Sejumlah keluarga berharap pemerintah lokal dan lembaga internasional turut membantu memperbaiki infrastruktur dasar. Tanpa dukungan itu, mereka khawatir kepulangan bisa menjadi beban baru ketimbang harapan.
Shaqqa yang selama ini dikenal sebagai situs wisata sejarah kini juga menjadi panggung kembalinya sebuah komunitas yang terpinggirkan. Perpaduan antara nilai budaya dan tragedi kemanusiaan memberi wajah baru bagi wilayah ini.
Para tetua Badui menekankan pentingnya menjaga persaudaraan dengan komunitas lain di Suwayda. Mereka percaya bahwa keharmonisan lokal akan menjadi kunci untuk membangun kembali desa yang hancur akibat perang.
Meski masa depan belum pasti, kepulangan ini menegaskan keberanian untuk bangkit. Kehidupan nomaden yang sempat terputus kini berusaha disambung kembali di tanah leluhur.
Langkah seratus keluarga Badui menuju Qasr juga menjadi simbol ketahanan budaya. Mereka membuktikan bahwa identitas dan sejarah tidak mudah hilang meski diguncang perang dan pengasingan. Sebagian besar perkampungan yang mereka tinggalkan telah hancur poran-poranda dna butuh perbaikan. Namun setidaknya mereka bisa melanjutkan kegiatan sebagai pengembala.
Pada akhirnya, Qasr bukan hanya tempat tinggal, melainkan juga simbol perlawanan terhadap ketercerabutan. Kepulangan ini membawa pesan bahwa meski Suriah masih dalam bayang-bayang konflik, selalu ada jalan pulang bagi mereka yang kehilangan rumah.
No comments:
Post a Comment